Suara Halmahera - Kondisi ketahan perekonomian nasional terus mendapat perhatian dari publik bersebab adanya perkiraan resesi yang dikeluarkan para influencer ekonomi di berbagai media sosial.
Dilansir dari Antara, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo tidak menampik kemungkinan resesi menjelang tahun 2023 mendatang.
Namun disaat yang bersamaan Perry menekankan bahwa Indonesia memiliki kunci untuk terus bertumbuh di tengah carut-marut ekonomi dunia.
Baca Juga: Menuju Akhir Tahun, Harga Emas Anjlok Terseret Kebijakan Penguatan Dollar AS
“Dunia memang bergejolak, kuncinya sinergi dan kolaborasi, bersatu, bersama, gotong royong, guyub rukun, koordinasi. Kalau kita bersatu, gubernur, bupati, pemerintah pusat, ekonomi 2023 bisa kita dihadapi,” kata Perry Warjiyo dalam sambutan Rakornas Tim Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Daerah (TP2DD) dipantau daring di Jakarta, Selasa, sebagaimana dikutip dari Antara.
Dengan sinergi dan kolaborasi, serta semangat gotong royong tersebut, Perry optimistis perekonomian nasional dapat tumbuh di atas 5 persen year on year (yoy) pada tahun 2023.
Hal ini tentu berbanding terbalik dengan prediksi badan moneter dunia IMF yang memperkirakan pertumbuhan perekonomian global melambat di kisaran 2- 3 persen yoy.
Baca Juga: Bangsa Eropa Tinggalkan Benteng, Penonton Bola Piala Dunia Tinggalkan Sampah Plastik
Perry turut meminta seluruh pihak di Indonesia untuk optimis pada tahun depan dengan tetap diiringi kewaspadaan.
“Sepanjang kita selalu bekerja sama, bersinergi pusat dan daerah. InsyaAllah tuhan menghendaki, mari kita sambut 2023 dengan optimis dan waspada,” kata Perry Warjiyo.
Adapun mengenai perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia menurut Perry tidak lepas dari kebijakan moneter yang dilakukan oleh negara maju pasca pandemi dan perang di Ukraina berlangsung.
Baca Juga: Kawasaki Stockman 2023, Motor yang Cocok untuk Pekerja di Lahan Pertanian dan Pedesaan
Pemangku kebijakan moneter di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan sekutunya di Eropa beberapa bulan terakhir secara agresif menaikkan suku bunga acuannya, yang akhirnya berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi dunia.
Sedangkan kasus konflik Ukraina dan Rusia di belahan utara benua Eropa tersebut diklaim sebagai penyebab terhambatnya rantai pasok global pasca-pandemi COVID-19, sehingga mendorong laju inflasi di berbagai negara maju.***