Serikat Buruh Kerakyatan (SERBUK): Kecelakaan Kerja Selalu Korbankan Buruh !

- 13 Desember 2021, 10:32 WIB
Buruh
Buruh /

SUARA HALMAHERA- Buruh adalah pencipta kekayaan sebenarnya, mereka bekerja diseluruh dunia melahirkan berbagai profit.

Namun buruh tidak pernah mendapatkan kesejahateraan, kemerdekaan dan kesetaraan. Buruh justru mengalami berbagai problem satu diantarnya adalah kecelakaan kerja.

Federasi SERBUK selaku organisasi buruh berpandangan mengenai kecelakaan kerja sebagai berikut.

Baca Juga: Filep Karma Tokoh Politik Papua Yang Dikabarkan Hilang di Lautan Kini Sudah Terselamatkan!

Kecelakaan kerja yang terjadi di semua tempat kerja dapat dipastikan selalu menumbalkan buruh. Kecelakaan kerja, apalagi yang berujung kematian buruh, selalu menempatkan buruh sebagai pihak paling menderita. Kecelakaan kerja yang berakibat cacat tentu saja menjadikan buruh tak lagi mampu bekerja. Demikian juga ketika buruh meninggal, keluarga kehilangan tulang punggung utama penopang kehidupannya.
 
Ketika seorang buruh harus kehilangan nyawa akibat kecelakaan kerja, ekonomi keluarga dipastikan limbung. Biaya hidup, biaya sekolah anak-anak, biaya kesehatan, semua hilang menjadi nihil. Apalagi, kenyataan di lapangan menyebutkan bahwa sebagian besar buruh, termasuk di dalamnya bekerja dalam sistem hubungan kerja yang sangat longgar, informal, dan tanpa jaminan keberlangsungan kerja.
 
Sebagai contoh, sebut saja pada perusahaan plat merah Perusahaan Listrik Negara (PLN). 60-75 persen buruhnya bekerja dalam sistem kerja outsourcing atau alih daya, termasuk mereka yang lebih dari 20 tahun bekerja. Setiap tahun vendor datang silih berganti.
 
Dalam catatan Federasi Serikat Buruh Kerakyatan (SERBUK) yang melakukan pengorganisasian buruh outsourcing PLN di Jawa Tengah dan Yogyakarta, ditemukan fakta bisa terdapat 50-150 buruh outsourcing yang tersebar di berbagai vendor, sementara jumlah pegawai organik PLN hanya berjumlah 5-15 orang. Pegawai organik adalah sebutan yang lazim digunakan untuk menyebutkan karyawan PLN, bukan outsourcing.
 
 
Pada sektor konstruksi kondisinya tak jauh berbeda, kalau tidak boleh dibilang lebih buruk. SERBUK mencatat dari pengalaman anggotanya yang terhimpun dalam Serikat Buruh Konstruksi Indonesia (SBKI) di Yogyakarta, mereka bekerja dalam sistem yang lebih longgar. Kalau buruh outsourcing di PLN menandatangani kontrak kerja dengan vendor setahun sekali, pada sektor konstruksi tidak ada kontrak kerja. Biasanya, mereka berasal dari daerah pedesaan yang tersebar di Yogyakarta dan berbagai kota sekelilingnya.
 
Pola kerja yang dilakukan, ketika ada proyek infrastruktur, Perusahaan Kontraktor (biasanya BUMN) akan menghubungi perusahaan-perusahaan rekanan untuk melakukan rekrutmen tenaga kerja. Perusahaan rekanan tersebut kemudian mengandalkan para mandor yang sudah terhubung dengan buruh-buruh konstruksi untuk berkomunikasi dengan koordinator buruh yang tersebar di berbagai tempat.
 
Para koordinator buruh konstruksi tersebut kemudian akan menghubungi buruh-buruh konstruksi sesuai dengan permintaan mandor. Berdasarkan penuturan pengurus SBKI Yogyakarta, buruh-buruh konstruksi yang terhubung dengan mereka berasal dari berbagai kota seperti Temanggung, Wonogiri, Solo, Semarang, dan Gunung Kidul.
 
Buruh-buruh konstruksi yang bekerja dalam berbagai proyek konstruksi tersebut, kemudian bekerja hingga proyek selesai. Kalau proyek dikerjakan dalam waktu 3 bulan, mereka akan bertahan di tempat kerja tersebut selama 3 bulan bahkan bisa lebih karena terkadang ditugaskan di tempat lain.
 
Mereka kerja dalam dua shift panjang selama 12 jam tanpa pernah dibayar upah lemburnya, tidur dan istirahat di bedeng-bedeng yang tak layak huni, kesehatannya terabaikan, tanpa alat kelengkapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang memadai, makan seadanya karena harus berhemat, dan tentu saja tanpa fasilitas BPJS. Terkait dengan fasilitas BPJS, SBKI Yogyakarta pernah melakukan advokasi terhadap anggotanya yang mengalami kecelakaan kerja dan perusahaan tidak bersedia menanggung biaya pengobatan. Akhirnya setelah melalui berbagai perjuangan, perusahaan baru bersedia menanggung biaya pengobatan.
 
Di lapangan, vendor terus menggenjot proyek agar secepat mungkin selesai. Mempercepat penyelesaian proyek juga dapat memangkas biaya produksi dan melambungkan laba bagi vendor yang mendapat proyek secara borongan.
 
 
Dengan kondisi yang sedemikian buruk, beban kerja yang berat, dan dikejar target harus cepat selesai, buruh konstruksi bekerja dalam tekanan yang sangat luar biasa. Ketika terjadi kecelakaan kerja, perusahaan akan dengan sangat mudah menyebutkan karena faktor kesalahan manusia alih-alih melihat sistem dan kondisi kerja. Human error adalah cara paling gampang untuk melimpahkan segala kesalahan pada buruhnya. Buruh konstruksi bekerja dengan beban ganda yang luar biasa.***

Editor: Ali Akbar Muhammad

Sumber: Khamid Istakhori


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x