PERS RILIS Aliansi Rakyat Tangerang Raya Tolak Politik Upah Murah Rezim Jokowi - Ma'ruf!

- 9 Desember 2021, 16:34 WIB
Ribuan Buruh Tangerang turun ke jalan menolak Omnibus Law Ciptaker, di Kawasan Tangcity, Kota Tangerang, Senin 5 Oktober 2020.
Ribuan Buruh Tangerang turun ke jalan menolak Omnibus Law Ciptaker, di Kawasan Tangcity, Kota Tangerang, Senin 5 Oktober 2020. /Dewi Agustini/
 
SUARA HALMAHERA- LAWAN POLITIK UPAH MURAH
DAN LAWAN SEGALA BENTUK PEMBANGKANGAN TERHADAP PUTUSAN MK TENTANG UNDANG – UNDANG CIPTA KERJA.
 
UPAH MURAH DAN KEMISKINAN
 
Upah merupakan denyut nadi kaum buruh, dimanapun di seluruh belahan dunia, upah merupakan tuntutan krusial. Sebab upah yang diterima oleh kaum buruh merupakan standar hidup yang diidamkan untuk menaikkan kesejahteraan hidup kaum buruh. Sebab itu pula upah merupakan salah satu factor penting yang memutarkan roda perekonomian diseluruh negara. Karena jika kaum buruh upahnya layak maka kehidupan pasar akan dinamis sebab hasil – hasil produksi akan terserap karena rakyat memiliki kemampuan belanja. Dan sebaliknya, jika upah kaum buruh kecil maka pasar tidak terserap sehingga akan mengakibatkan krisis.
 
Akan tetapi persoalan upah kaum buruh selalu diremehkan oleh para pengusaha dan negara. Sudah menjadi tradisi setiap pergantian tahun perselisihan upah antara kaum buruh dengan pengusaha menjadi runcing. Hal ini disebabkan oleh regulasi pengupahan yang digunakan untuk merumuskan upah melemahkan posisi tawar kaum buruh dalam arena perundingan Dewan Pengupahan. Peraturan pengupahan yang brengsek dan mekanisme perumusan upah yang sontoloyo ! Sehingga besaran kenaikan upah kaum buruh seperti dadu yang dikocok dimeja judi menjauhkan dari angka – angka layak dan kebutuhan riil rakyat pekerja.
 
UPAH ADALAH PRODUK POLITIK
 
Upah merupakan kebijakan politik ! Kemiskinan kaum buruh yang terstruktur bukanlah takdir dari Allah SWT, hal ini disebabkan oleh kebijakan politik upah murah dan rendah sehingga kaum buruh akan terbelenggu oleh ketiadaan, dan kemiskinan yang berkepanjangan. Kita masih ingat Keputusan Menteri Nomor 13 tahun 2012, dimana pada pasal pembuka pertama menyebutkan bahwa upah hanya diabdikan untuk buruh lajang.
 
Sebuah logika yang tidak masuk akal, bagaimana Upah MINIMum Kota/Kabupaten(UMK) yang rendah dan untuk satu orang buruh lajang digunakan untuk bertahan hidup seorang buruh bersama anggota keluarganya(istri dan anak – anaknya). Sehingga dengan Kepmenaker No. 13/2012 tidak akan merumuskan upah layak bagi kelas pekerja Indonesia.
 
Belum puas dengan Kepmenaker No. 13/12, para pemodal dan pemerintah masih mencari – cari cara agar upah bisa ditekan serendah rendahnya, maka pada bulan Oktober tahun 2015 Pemerintah mengeluarkan PP No. 78 tahun 2015. Pada masa itu Pemerintahan Jokowi – Amin begitu congkak, tidak sedikitpun menghiraukan teriakan kaum buruh, bahkan pada tanggal 28 Oktober tahun 2015 aksi protes kaum buruh didepan istana negara direpresi, dipukul, ditembaki gas air mata, sampai tindakan penangkapan terhadap aktivis buruh, aktivis mahasiswa dan pengacara publik dari LBH Jakarta.
 
Tidak sampai disitu saja ! Petaka baru menimpa rakyat Indonesia, Rancangan Undang -undang atau RUU OMNIBUS LAW Cipta Kerja resmi disahkan DPR menjadi Undang – undang pada rapat paripurna pada hari Senin 05 Oktober 2020. RUU Ciptaker merupakan RUU yang diusulkan oleh Presiden Joko Widodo dan merupakan bagian dari Program Legislasi Nasional tahun 2020. Dikebutnya pembahasan RUU ini diklaim demi investasi di Indonesia, Ya demi Investasi.
 
Sidang – sidang pembahasannya dilakukan siang dan malam, bahkan sampai larut malam, meskipun dibahas ditengah masa reses dan pandemi. Sekali lagi demi investasi. Omnibus Law atau kita kenal dengan UU Cilaka ini sekali lagi merampas upah kaum buruh dan membawa pada era perbudakan gaya baru. Peraturan turunan pada UU Cilaka Cluster Ketenagakerjaan tersebut : PP 34, PP 35, PP 36, dan PP 37 merupakan penegasan atas pemerintahan Joko Widodo merupakan pemerintah antek modal, jongos kapitalis. Semakin dipahami jika pemerintahan yang berkuasa di Indonesia saat ini merupakan gerombolan Oligarki, penghisap keringat rakyat. PP 35 merupakan manifestasi perbudakan gaya baru, dimana kaum buruh Indonesia dihadapkan pada ketidakpastian kerja yang semakin gelap : kerja kontrak, outsoutrching, harian tak lepas - lepas, bahkan sistem kerja magang. Pun demikian dengan mimpi upah layak direnggut oleh PP 36.
 
Penetapan Upah Minimum tahun 2022 yang mengacu pada PP No. 36 membuat upah kaum buruh semakin murah. Sehingga dengan menggunakan formulasi penghitungan mengacu pada PP 36 tersebut dan berdasarkan data BPS, kenaikan upah minimum tahun 2022 adalah 1,09 %.
 
UU CIPTAKER INKONSITUSIONAL
 
Keputusan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan Undang -undang Cipta kerja Inkonstitusional seharusnya berdampak pada kenaikan upah tahun 2022. Amar Putusan MK Nomor 7 yang menyatakan pemerintah untuk menangguhkan segala kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas. PP 36 tentang Pengupahan merupakan aturan turunan dari UU Ciptaker, dalam PP tersebut pasal 4 menyatakan kenaikan upah minimum adalah kebijakan strategis, artinya merujuk pada Amar Putusan MK No. 7, maka PP 36 tersebut tidak berlaku sehingga perumusan upah minimum kota/kabupaten mengacu pada Undang – undang lama, yaitu UU No. 13/2003.
 
Akan tetapi pemerintahan Joko Widodo tetap memaksakan agar UU Ciptaker berikut peraturan turunannya masih tetap berlaku.
 
BURUH BANTEN MELAWAN POLITIK UPAH MURAH
Pasca Putusan MK yang menyatakan UU Ciptaker Inkonstituonal, pemerintah melalui Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi meminta agar seluruh kepala daerah untuk mengikuti ketentuan pengupahan sebagaimana diatur dalam PP 36/2021. Sehingga hal ini menimbulkan gejolak protes seluruh kaum buruh di Indonesia. Begitu juga di Banten, protes keras kaum buruh di Propinsi Banten terhadap kebijakan negara yang inkonstitusional dan cacat hukum, permintaan kenaikan upah sebesar 5,4 % di jawab dengan congkak oleh Gubernur Banten Wahidin Halim dengan pernyataan yang “cacat moral”. “ Saya bilang ke pengusaha, ya kalian cari tenaga kerja baru, masih banyak yang nganggur, yang butuh kerja, yang cukup gaji Rp. 2,5 juta sampai 4 juta juga masih banyak” kata Gubernur Banten, sungguh pernyataan yang provokatif dan melecehkan buruh.
 
Dengan ini kami ALIANSI RAKYAT TANGERANG RAYA (ALTTAR) menyerukan pada seluruh elemen gerakan buruh atau pekerja khususnya di wilayah Tangerang dan Banten untuk bersatu dengan gerakan buruh Indonesia menolak upah murah. Nasib buruh berada di tangan gerakan buruh dan menjadi tanggung jawab gerakan buruh.
 
Gerakan buruh juga sudah saatnya berperan di masyarakat menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa. Gerakan buruh harus lebih serius dan disiplin, terutama dalam melakukan mogok daerah. Maka dengan ini kami menyerukan untuk terus melakukan perlawanan terhadap politik upah murah.
 
Kami Aliansi Rakyat Tangerang Raya(ALTTAR), Menuntut kepada pemerintah :
 
1. Hentikan seluruh Peraturan turunan (PP 34, PP 35, PP 36, dan PP 37) yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja sesuai dengan Amar Putusan MK Poin 7 !
 
2. Cabut SK Gubernur Banten tentang kenaikan upah 2022 yang hanya menetapkan kenaikan upah sebesar 1,09% !
 
3. Segera revisi dan tetapkan kenaikan UMK tahun 2022 sebesar 5,4 % di seluruh Propinsi Banten !
 
4. Mengecam pernyataan Gubernur Banten Wahidin Halim yang menghina dan melecehkan suara kaum buruh Banten, bahwa pernyataan tersebut merupakan CACAT MORAL !
 
Tangerang, 08 Desember 2021, PRESIDIUM ALTTAR (KPBI, FSPMI, GASPERMINDO, SBSI 92, SBJP, SPN, IPCM, SBPS, SPTP TUNG MUNG, SPTP TUNTEX, SPTP REFORMASI, SPTP PEMI).***

Editor: Ali Akbar Muhammad

Sumber: persatuan buruh


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x