Presiden 3 Periode Kembali Berhembus, Wakil Ketua MPR Tegaskan Ini

- 12 September 2021, 23:00 WIB
Presiden 3 Periode Kembali Berhembus, Wakil Ketua MPR Tegaskan Ini
Presiden 3 Periode Kembali Berhembus, Wakil Ketua MPR Tegaskan Ini /fraksi.pks.id/

SUARA HALMAHERA - Mengenai Presiden tiga periode kembali berhembus dan menjadi perbincangan yang tak berkesudahan.

Presiden tiga periode wacana ini seakan di paksakan untuk bisa menjadi hal yang harus diterima.

Namun apakah wacana Presiden tiga periode melanggar konstitusi atau tidak.

Menanggapi wacan Presiden tiga periode, anggota DPR sekaligus Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid, tegaskan kalau MPR RI mensosialisasikan 4 Pilar MPR, diantaranya UUDNRI 1945, jadi seharusnya MPR harus bisa berpegang teguh dalam melaksanakan ketentuan Konstitusi.

Perlu diketahui bahwa amanat reformasi, didalamnya termasuk pembatasan masa jabatan Presiden.

Olehnya itu, Politisi PKS yang sering disapa Hidayat Nur Wahid ini menjelaskan terkait amandemen UUD 1945, dimana ada dua isu yang telah mejadi perbincangan publik. Baik itu yang untuk hadirkan PPHN (Pokok-Pokok Haluan Negara), atau yang perpanjangan masa jabatan Presiden.

“Itu semua penting untuk didudukan, sesuai fakta aturan konstitusi dan fakta dinamika yang ada di MPR. Karena masih banyak manuver dan isu di luar MPR terkait wacana amandemen ini, yang bisa mengalihkan isu dan menggerus kepercayaan rakyat terhadap parlemen dan lembaga Negara,” ujarnya saat melakukan sosialisasi 4 pilar MPR RI bersama Yayasan Al-Barokah di Jayapura, Papua, Sabtu, 11 September 2021. Dikutip dari Pikiran Rakyat, Minggu 12 September 2021.

Artikel terkait juga diterbitkan oleh Pikiran Rakyat dengan judul: Isu Presiden 3 Periode Terus Berembus, Pimpinan Tegaskan Tak Ada Agenda Pengusulan di MPR

HNW juga mengingatkan bahwa memang ada pasal 37 UUD NRI 1945, yang membuka kemungkinan terjadinya amandemen bila dipenuhi syarat-syaratnya, juga ada kajian di MPR untuk menghadirkan kembali GBHN dengan nama PPHN. 

HNW juga mengingatkan bahwa memang ada pasal 37 UUD NRI 1945, yang membuka kemungkinan terjadinya amandemen bila dipenuhi syarat-syaratnya, juga ada kajian di MPR untuk menghadirkan kembali GBHN dengan nama PPHN. 

“Tetapi itu bukanlah rencana apalagi program final MPR untuk melakukan amandemen. Melainkan pelaksanaan terhadap Rekomendasi dari MPR pada periode sebelumnya. Dan kajian untuk hadirnya PPHN itu tidak mesti hasilnya adalah dengan amandemen UUD NRI 1945,” kata HNW.

HNW mengatakan, mengingat faktanya tidak seluruh fraksi di MPR RI menyetujui amandemen UUD untuk hadirkan PPHN.

“Misalnya, Fraksi PKS istiqamah menolaknya, karena menurut PKS, PD, dan Gerindra, PPHN bisa dihadirkan tanpa amandemen, melainkan melalui Undang-undang dengan dimasukkan ke dalam undang-undang melalui penguatan UU yang sudah ada. Dan apalagi menimbang Negara yang lagi berjuang atasi covid-19, sementara rencana materi amandemen bukan hal yang sangat diperlukan oleh Negara dan Rakyat. Argumentasi penolakan amandemen itu semakin kuat,” kata HNW.

Selain itu, HNW menjelaskan wacana itu juga belum jadi keputusan final, sebab kajiannya memang belum selesai dan belum disepakati, dan apalagi belum ada satupun anggota MPR RI yang mengusulkannya.

Pasalnya, merujuk Pasal 37 UUD NRI 1945 sudah memberikan batasan aturan yang sangat jelas dan tegas, usulan yang bisa ditindaklanjuti oleh MPR untuk melakukan amandemen memang hanyalah yang diusulkan oleh Anggota MPR, dengan aturan yang sangat ketat.

Jadi bukan yang diwacanakan oleh individu mantan pimpinan Partai, atau aktivis lembaga survei, atau kelompok relawan, sebagaimana dikutip Pikiran-Rakyat.com dari laman Fraksi.PKS.id.

“Anggota MPR yang mengusulkan amandemen UUD NRI 1945 minimal berjumlah 1/3 dari total anggota MPR atau 237 anggota MPR dari 711 anggota MPR. Usulan pun disampaikan secara tertulis dengan menyebutkan alasan perubahan dan alternatif usulannya. Itu semua harus sudah dipenuhi sebelum sidang Paripurna MPR. Begitu aturan Pasal 37 ayat 1 dan UUD NRI 1945. Jadi tidak bisa tiba-tiba ada yang menyalip di tikungan dengan mengusulkan pasal titipan baru, soal perpanjangan masa jabatan Presiden misalnya. Jadi, syaratnya sangat ketat. Berbeda dengan kasus-kasus lain, ataupun ketentuan UUD 45 sebelum perubahan, yang bisa terjadi keputusan dan tambahan yang mendadak,” katanya.

Oleh karena itu, dia menegaskan proses amandemen UUD NRI 1945 di MPR RI apabila memang akan terjadi, hanya akan dilakukan secara ketat sesuai dengan ketentuan UUD RI yang berlaku. Dan bukan karena desakan opini ataupun survei.

Karenanya HNW yang juga Wakil Ketua Majlis Syura PKS ini yakin bahwa, ketentuan Pasal 7 UUD NRI 1945 yang membatasi dua kali masa jabatan periode Presiden juga tidak akan ikut mengalami perubahan amandemen.

“Tidak ada kajian dan agenda MPR terkait perubahan UUD untuk memperpanjang masa jabatan Presiden. Yang baru ada kajian terkait dengan PPHN. Itu pun tidak semua Fraksi dan Kelompok DPD setuju diberlakukannya melalui amandemen UUD NRI 1945,” kata HNW.

Lebih lanjut, HNW mengatakan ditengah berbagai manuver yang usulkan perpanjangan masa jabatan Presiden, tidak ada satupun pimpinan MPR maupun anggota MPR yang secara resmi ikutan mengusulkan perubahan UUD NRI untuk memperpanjang masa jabatan Presiden.

“Itu tandanya, memang di MPR tidak ada agenda perubahan UUD NRI 1945 untuk memperpanjang masa jabatan Presiden,” ujarnya.***(Nurul Khadijah - Pikiran Rakyat)

Editor: Firmansyah Usman


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah