Lima Desa Di Patani Barat Harus Tolak Perusahaan Kayu, Ini Pernyataan Mustofa Bisry DPK Tani Jabar

14 Desember 2020, 13:22 WIB
Ilustrasi hutan yang makin kritis. /Foto: Antara/ Suriani Mappong/

SUARA HALMAHERA - Serikat Pekerja Tani (SEPETAK) Karawang Jawa Barat, beberapa waktu lalu mengeluarkan pernyataan sikap menolak perusahaan kayu di hutan Patani Barat, Halmahera Tengah.

Pernyataan sikap itu dikeluarkan secara resmi dari organisasi Serikat Pekerja Tani Karawang Jawa Barat.

Saat dikonfirmasi oleh media Suara Halmahera, Mustofa Bisry selaku pengurus inti SEPETAK di Dewan Pimpinan Tani Kabupaten (DPK) Kawarang Jawa Barat, membenarkan pernyataan sikap tersebut.

"Pernyataan sikap itu adalah sikap resmi dari organisasi. Dikeluarkannya pernyataan sikap resmi itu adalah sebagai seruan solidaritas atas masalah yang dihadapi oleh masyarakat Patani Barat," ujar Mustofa.

Menurutnya, "persoalan itu bukan hanya sebatas persoalan tanah-tanah milik petani ataupun tanah adat yg diserobot oleh perusahaan, tapi ada persoalan besar bagi kita semua, dimana Negara yang seharusnya berpihak pada rakyat lebih memilih berpihak pada pemodal. Seharusnya negara, jika benar berpegang pada Nawacitanya jokowi yang salah satunya reforma agraria lebih memprioritaskan para petani. Bagi kami reforma agraria itu bukan hanya persoalan bagi-bagi tanah (asset agraria), tapi harus diiringi oleh akses agrarianya, yakni permodalan, infrastruktur dan teknologi, dan juga pasar. Jika di sana kaya akan pala, kopra atau yang lainnya, kenapa Negara abai dengan potensi itu?"

"Sementara persoalan hutan, kita sepakat bahwa pemanfaatan hutan bukan hal yang haram untuk dilakukan, tapi ada hal yang harus diperhatikan soal dampak sosial dan dampak ekologinya, dan kita semua tahu bahwa perusak hutan itu bukan operator sensor (warga lokal) yang menebang satu atau dua pohon untuk kebutuhan pribadinya, tapi perusahaan perusahaan yang memanfaatkan hutan sebagai sumber kapitalnya yang bukan berdasarkan kebutuhan. Paradigma yang menyalahi warga lokal menebang pohon hutan sekedar untuk mencukupi kebutuhannya adalah cara berfikir intellectual cul-de-sac (cara berfikir yang buntu) atau cara berfikir ini sengaja dimasifkan ke masyarakat agar masyarakat pasif dan menyerahkan segalanya pada investasi," tambahnya.

Sehingga hal ini penting untuk membangun solidaritas yang luas untuk menolak masuknya perusahaan-perusahaan yang hanya nantinya merusak hutan dan merugikan masyarakat.

"Yang pasti kami berharap dengan adanya seruan solidaritas dari kami akan semakin memperluas kamapanye bagi kawan-kawan di sana yang sedang berjuang menghadapi persoalannya," harapnya.

Persoalan agraria bukan hanya terjadi di Halmahera saja, tapi di seluruh nusantara, dan musuh kita sama yakni kapitalisme, jadi tidak ada sekat-sekat di antara kita dalam menghadapi persoalan ini.

Perusahaan kayu yang akan masuk di Patani Barat Halmahera Tengah, memiliki kemiripan dengan berbagai kasus-kasus di Indonesia. Mereka masuk tentunya dengan lembaga masyarakat atau dengan sistem kelompok. Hal ini dilakukan menurutnya, adalah untuk menghindari konflik warga pemilik tanaman dan lahan serta hutan dengan perusahaan.

"Di jawa kami mengenal LMDH, lembaga masyarakat desa hutan, bentukan dari PERHUTANI, tujuannya adalah untuk meredam konflik antara petani sekitar hutan dengan perusahaan Perhutani itu, tapi dalam prakteknya LMDH alih-alih menguntungkan petani tapi malah menjadi bagian dari masalah antara petani dan Perhutani, kenapa demikian? tentunya sebagai lembaga yang dibuat oleh Perhutani mereka tetap akan lebih berpihak pada tuannya," ungkap Mustofa yang sering disapa Savanajaya.

"Nah untuk kasus di Patani Barat, aku rasa tidak jauh berbeda, sebab kelompok tani yang dibuat hanyalah bagian dari cara perusahaan untuk memoderasi gerakan petani disana, kelomok tani buatan perusahaan hanyalah boneka dari perusahaan itu," sambung lagi.

Desa harus menolak masuknya perusahaan-perusahaan itu yang berpotensi merusak hutan, kalau hanya untuk akses tanaman dan kebun di hutan, jawabnya bukan perusahaan kayu.

"Saya rasa desa harus menolak perusahaan-perusahaan itu, yang berpotensi merusak hutan, jawaban atas ekonomi masyarakat desa bukan pada produksi kayu oleh perusahaan, melainkan pada akses agraria yang harus didapatkan, aku mendengar di sana masyarakatnya kaya akan pala dan kopra, maka sudah seharunya desa harus membuat koperasi yang mampu mengelola pala dan kopra menjadi produk yang siap pakai, bukan hanya bahan saja, tetapi bahan bakunya dari petani, industrinya dikuasai oleh petani, dan pemasarannya pun ada ditangan petani, tentunya secara kolektif lewat koperasi," Jelas Mustofa.

Saat ini, proses perizinan perusahaan kayu yang akan masuk di Patani Barat dalam tahap proses.

"Kita sama-sama tahu bung soal perizinan seperti apa? aku harap Pemerintahan Kabupaten dan Provinsi wemprov membuka mata bahwa untuk mensejahterakan rakyatnya bukan demgann cara memberikan izin pada perusahaan kayu, Bukannya mensejahterakan rakyat tapi deforetasi atas hutan yg terjadi, berikan akses agraria pada petani di sana, dorong pembangunan industrialisasi pertanian dengan potensi yang ada di sana, tolak izin masuknya perusahaan kayu, dan jika Pemkab dan Pemrov tetap ngotot perusahaan maka perhebat perlawanan rakyat.***

Editor: Firmansyah Usman

Tags

Terkini

Terpopuler